Makassar – Kepala Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan hadir dalam konferensi pers di Mapolda Sulawesi Selatan dengan agenda pengungkapan tersangka dalam kasus penangkapan satwa dilindungi jenis Penyu hijau (Chelonian mydas) di Pulau Gondong Bali Desa Mattiro.
Tim gabungan Polda Sulawesi Selatan berhasil mengamankan pelaku penangkapan penyu hijau (Chelonian mydas) di Pulau Gondong Bali Desa Mattiro Matae Kecamatan Liukang Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan.
Dari hasil pemeriksaan, penyidik menetapkan enam orang tersangka dan berhasil mengamankan barang bukti berupa empat ekor penyu hijau jenis Chelonian mydas dalam kondisi hidup, potongan tubuh penyu, satu unit perahu warna putih-hijau dengan memiliki dua mesin diesel dong feng (24 PK) dan satu unit alat tangkap berupa jaring.
Sebelumnya pada tanggal 4 Januari 2022 telah dilakukan identifikasi terhadap barang bukti berupa potongan tubuh penyu di Kantor Balai KSDA Sulawesi Selatan. Identifikasi dilaksanakan oleh fungsional, tenaga teknis, analis dan dokter hewan bersama dengan Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin dan Penyidik Dit. Reskrimsus Polda Sulsel didampingi oleh Kepala Seksi Perencanaan, Perlindungan dan Pengawetan Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan.
Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh tim, barang bukti berupa potongan bagian satwa setengah kering yang diiris kecil, terdiri dari : 38, 9 kg daging kulit punggung, 45, 20 kg daging kulit abdomen, 1, 86 kg daging kulit ventral kiri dan kanan 2, 595 kg daging kulit leher, 2, 435 kg daing kulit kepala di bawah paruh, 0, 4 kg daging kulit empat tungkai depan dan belakang dan 0, 465 kg daging lainnya dengan total 91, 54 kg. Berdasarkan morfologi kulit, teridentifikasi bahwa potongan penyu tersebut merupakan jenis penyu hijau (Chelonia mydas).
Penyu hijau adalah penyu laut besar yang termasuk dalam keluarga Cheloniidae. Lemak berwarna hijau yang terletak dibawah cangkang menjadi asal nama “Penyu Hijau”.
Baca juga:
Mobil Sedan Terjebak Banjir di Tanete Rilau
|
Perburuan untuk diambil karapaks dan plastron sebagai hiasan menjadi faktor utama berkurangnya jumlah penyu hijau di alam. Selain itu, anggapan bahwa daging penyu berkhasiat baik bagi kesehatan menjadi penyebab meningkatnya aktivitas penangkapan dan perdagangan penyu sebagai bahan konsumsi.
Menurut IUCN Red List semua jenis penyu berstatus rentan kepunahan, terancam atau sangat terancam punah. Status perdagangan penyu secara internasional masuk dalam Appendiks I CITES yang artinya seluruh jenis perdagangan penyu dalam bentuk apapun dilarang.
Kepala Balai Besar KSDA Sulwesi Selatan Ir. Thomas Nifinluri., M.Sc hadir dalam konferensi pers di Mapolda Sulawesi Selatan. Badan konservasi Dunia IUCN menetapkan bahwa penyu hijau termasuk dalam status terancam punah.
"Dari tujuh jenis penyu di dunia enam diantaranya berada diperairan Indonesia, dimana jenis yang terbanyak adalah penyu hijau dan penyu sisik. Berbagai upaya penyelamatan satwa dilindungi telah dilakukan oleh Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan diantaranya dengan memberikan informasi kepada masyarakat yang berada di pesisir pantai mulai dari Mamuju sampai Takalar untuk tidak mengkonsumsi daging penyu karena merupakan kegiatan yang melanggar undang-undang, " terang Thomas dalam rilis tertulisnya. Selasa, 11 Januari 2022.
Lebih jauh Thomas menuturkan, bahwa perlindungan penyu sudah diatur dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Permen LHK Nomor P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
"Permen LHK ini merupakan revisi atas lampiran dari Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa.
Beberapa aturan diatas merupakan dasar regulasi yang menetapkan status perlindungan penyu, dimana setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan penyu, " pungkas Kepala Balai Besar KSDA Sulsel, Thomas Nifinluri.